tafsir surah alfatihah
📒🔹 TAFSIR SURAT AL FATIHAH

Oleh Ma’alisy Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alusy Syaikh (Mantan menteri urusan agama islam Kerajaan Saudi Arabia).

📌 Mukaddimah

…kemudian awal Al Quranul Azhim adalah fatihatul kitab, dan yang pertama kali ditafsirkan dari Al Quran adalah surat yang agung ini, maka menafsirkan surat ini disamping dibutuhkan untuk memahami 7 ayat dari Al Quran maka ia juga dibutuhkan dari sisi bahwa shalat yang merupakan rukun islam amaliyyah yang terbesar, dan pahala shalat menjadi besar bagi orang yang mentadabburi kitabullah yang ia baca dalam shalatnya dan membaca bacaan dalam shalatnya didasari ilmu, keyakinan dan pemahaman.

📌 Nama-nama Fatihatul Kitab.

Fatihatul Kitab dinamakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadits yang shahih bahwa adalah ia adalah Al Quranul Azhim, dan As Sab’ul Matsani, maka beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda :

فاتحة الكتاب هي السبع المثاني، والقرآن العظيم الذي أوتيته.

“Fatihatul Kitab merupakan As Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang dengannya seseorang memuji Allah Ta’ala) dan Al Quranul Azhim yang diberikan kepadaku”. (Hadits riwayat Al Bukhari).

Dan Fatihatul Kitab dengannya Al Quran dimulai, dan surat ini disebut Ummul Quran dan Ummul Kitab, hal itu dikarenakan Al Quran dimulai dengannya dan dikarenakan shalat dimulai dengannya sebagaimana alasan ini dikemukakan oleh Al Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya.

Dan dikarenakan makna-makna Al Quran semuanya kembali kepada apa yang disebutkan dalam surat yang agung ini, maka ia adalah Ummul Quran ditinjau dari sudut pandang bahwa makna-makna Al Quran kembali kepada makna-makna dalam surat ini, dan ini akan nampak bagimu ketika mulai memahami surat ini atau setelah selesai dari memahami tafsirnya.

📌 Keagungan surat Al Fatihah.

Surat yang agung ini disebutkan kedudukannya dalam hadits yang shahih bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :

يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى : قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : حَمِدَنِى عَبْدِى، وَإِذَا قَالَ : (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : أَثْنَى عَلَىَّ عَبْدِى، وَإِذَا قَالَ : (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ) قَالَ الله : مَجَّدَنِى عَبْدِى، فَإِذَا قَالَ : (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ) قَالَ : هَذَا بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ : (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ). قَالَ الله : هَذَا لِعَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ ».

“Allah Ta’ala berfirman: Aku membagi shalat (yaitu surat Al Fatihah, pent) menjadi dua bagian, maka setengahnya bagiKu, dan setengahnya bagi hambaKu (yakni 3 setengah ayat mengandung pujian untuk Allah dan tiga setengah ayat mengandung doa hamba kepada Rabbnya, pent) dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika hambaKu mengucapkan :

( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ )

maka Allah berfirman: hambaKu telah memujiKu. Ketika hamba tersebut mengucapkan :

(الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ )

maka Allah berfirman: hambaKu telah menyanjungKu dan mengulangi pujiannya kepadaKu.

Ketika hamba tersebut mengucapkan :

(مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ)

maka Allah berfirman: hambaKu telah mengagungkanKu. Jika ia mengucapkan :

(إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ )

maka Allah berfirman: Ini antaraKu dan hambaKu, dan bagi hambaKu apa yang ia minta.

Maka jika ia mengucapkan :

(اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ )

maka Allah berfirman: Ini untuk hambaKu, dan bagi hambaKu apa yang ia minta.” (Hadits riwayat Muslim).

📌 Memulai dengan isti’adzah dan basmalah ketika membaca Al Fatihah.

Surat ini dimulai dengan basmalah dan dengan apa yang Allah perintahkan kepada orang yang membaca Al Quran untuk memulai bacaannya dengan memohon perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terlaknat sehingga wajib baginya memahami makna dari isti’adzah kepada Allah, Allah berfirman :

فَإِذَا قَرَأْتَ ٱلْقُرْءَانَ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ.

“Bila kamu hendak membaca Al-Qur`ān -wahai orang mukmin- maka mintalah kepada Allah perlindungan dari was-was setan yang terusir dari rahmat Allah”. (An Nahl : 98).

📌 Lafazh-lafazh isti’adzah.

Orang yang hendak membaca Al Quran dalam shalat dan di luar shalat maka ia memulai dengan membaca :

أعوذُ باللهِ من الشَّيطانِ الرَّجيمِ.

Dan jika ia menambahkan sifat dari sifat-sifat Allah dalam rangka menyucikan dan mengagungkanNya seperti mengucapkan :

: أعوذُ باللهِ السميع العليم من الشَّيطانِ الرَّجيمِ
atau
: أعوذُ باللهِ الحي القيوم من الشَّيطانِ الرَّجيمِ

maka semuanya diperbolehkan dan yang lebih baik adalah ittiba’ (mengikuti apa yang telah diajarkan dalam Al Quran dan Sunnah), dan sungguh telah datang dua sifat bacaan isti’adzah :

Yang pertama : yang datang dalam Al Quran :

((أعوذُ باللهِ من الشَّيطانِ الرَّجيمِ))

Yang kedua : yang datang dalam sunnah :

أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِن الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ.

“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari syaithan yang terkutuk dari kegilaan, kesombongan dan syair syaithan yang batil”. (Hadits riwayat Abu Dawud dan At Tirmidzi dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu anhu).

📌 Makna isti’adzah.

Orang yang hendak membaca Al Quran membaca :

((أعوذُ باللهِ من الشَّيطانِ الرَّجيمِ))

Dan makna أعوذُ yakni aku meminta perlindungan.

باللهِ

Yaitu kepada Allah sesembahanku yang haq yang tidaklah aku beribadah kepada selainNya dan tidaklah aku menyerahkan segala urusanku kecuali kepadaNya.

من الشَّيطانِ الرَّجيمِ

Yaitu dari kejelekan syaithan yang terkutuk dan dijauhkan dari rahmat Allah dari kalangan syaithan-syaithan jin dan syaithan-syaithan manusia, aku berlindung kepada Allah dari gangguan mereka terhadap diriku atau gangguan terhadap agamaku atau dari upaya mereka menghalangiku dari menetapi perintah Rabbku atau dari upaya mereka mendorongku untuk melakukan sesuatu yang tidak dicintai oleh sesembahanku.

Hubungan isti’adzah dengan tilawah adalah bahwasanya orang yang membaca Al Quran akan didatangi oleh syaithan untuk memalingkannya dari mentadabburi ayat-ayat Al Quran dan memberikannya was-was atau keragua-raguan, dan ini semua termasuk kejelekan syaithan yang Allah diminta perlindungan darinya.

📌 Meminta perlindungan kepada selain Allah adalah kesyirikan.

((أعوذُ باللهِ من الشَّيطانِ الرَّجيمِ))

Maka yang diminta perlindungannya adalah Allah semata, dan isti’adzah adalah ibadah namun ia merupakan ibadah qalbiyyah (hati) yang tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah sehingga tidak boleh beristi’adzah kepada selain Allah, dan barangsiapa yang meminta perlindungan kepada selain Allah maka ia telah berbuat kesyirikan; dikarenakan Allahlah yang melindungi dari kejelekan dan Dialah yang mencurahkan kebaikan serta mencegah dari keburukan, Allah berfirman :

وَإِن يَمْسَسْكَ ٱللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِن يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ.

Dan jika Allah menimpakan kepada dirimu (wahai manusia) sesuatu yang menyebabkan mudarat bagimu, seperti kemiskinan dan penyakit, maka tidak ada yang sanggup menghilangkannya, melainkan Dia sendiri. Dan apabila Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, seperti hidup kecukupan dan kesehatan fisik, maka tidak ada yang dapat menolak karuniaNYa dan menghalangi ketetapanNya, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. (Al An’am : 17).

Dan Allah Ta’ala berfirman :

مَّا يَفْتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ.

Apa yang Allah anugerahkan untuk manusia berupa rizki, hujan, kesehatan, ilmu dan nikmat-nikmat lainnya, tidak seorang pun yang kuasa untuk menahan rahmat tersebut, sedangkan apa yang Allah tahan darinya, maka tidak seorang pun mampu melepaskannya sesudahNya. Allah Mahaperkasa yang mengalahkan segala sesuatu, Mahabijaksana yang mengirimkan rahmat dan menahannya sesuai dengan hikmahNya. (Fathir : 2).

📌 Makna syaithan (الشيطان) dalam bahasa arab.

Para ulama berkata : lafazh (الشيطان) diambil dari kalimat (الشطن) yang bermakna jauh; dikarenakan syaithan secara bahasa arab bermakna sesuatu yang jauh dari kebaikan atau jauh dari keumuman jenisnya, dan jika disebutkan lafazh syaithan maka iblis yang masuk di dalamnya pertama kali, dan syaithan juga mencakup syaithan manusia dan syaithan jin.

Dan sebagian hewan juga ada yang disebut syaithan, hal itu ditinjau bisa dari jauhnya dari keumuman jenisnya atau bisa jadi jauhnya dari kebaikan, maka sungguh telah datang dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Dzar radhiallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :

الكلب الأسود شيطان.

“Anjing hitam adalah syaithan”.

Dan datang dari hadits Ibnu Wahb dengan sanad yang shahih bahwasanya Umar radhiallahu anhu pernah didatangkan kepadanya seekor kuda birdzaun lalu ia menaikinya, maka ia melihat kuda tersebut melangkah dengan sombong lalu beliaupun menghardiknya, namun kuda tersebut terus melangkah dengan sombong, maka Umar radhiallahu anhu turun darinya dan berkata :

ما حملتموني إلا على شيطان.

“Tidaklah kalian menaikkanku kecuali di atas syaithan”.

📌 Apakah (بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ) termasuk ayat dalam Al Quran ?

Para ulama tentang masalah ini ada beberapa pendapat, namun pendapat yang shahih adalah bahwasanya basmalah adalah ayat (tersendiri) yang dibaca di awal setiap surat untuk memisahkan antara surat-surat yang ada, maka ia adalah ayat (yang tersendiri) yang ada dalam Al Quran dan ia bukan bagian dari setiap surat (baik surat Al Fatihah maupun surat-surat yang lainnya)*, hanya saja ia adalah sebagian ayat dari surat An Naml yakni dalam firmanNya :

 إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ.
__
*Catatan : maka menurut pendapat ini surat Al Fatihah yang terdiri dari tujuh ayat, dan ayat yang pertama adalah :
(الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) [الفاتحة :1]
Dan ayat yang ketujuh adalah :
 (غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ [الفاتحة:7].
Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Asy Syaikh Ibnu Baaz dan Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah, pent.

📌 Makna ((بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ))

Basmalah merupakan diantara nikmat terbesar yang Allah anugerahkan kepada kaum mukminin secara umum dari kalangan para pengikut para Rasul; dikarenakan di dalamnya dan dengannya tercapai banyak kebaikan yang hanya Allah yang lebih mengetahuinya.

Dan makna secara global terhadap (بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ) adalah bahwasanya orang yang hendak membaca Al Quran maka dengan basmalah yang ia baca bermakna : “aku akan membaca Al Quran dengan meminta pertolongan kepada Allah dan dengan menyebut setiap nama dari nama-nama Allah, Dzat yang memiliki nama Ar Rahman dan Ar Rahim yang sempurna baginya sifat rahmat dan besar pengaruhnya”, maka ia membaca Al Quran dengan memohon pertolongan kepada Allah dan dengan menyebut setiap nama dari nama-nama Allah serta bertawassul kepada Allah dengan nama-namaNya.

📌 Makna (ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ).

(ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ)

Ayat ini merupakan ayat pertama dalam surat Al Fatihah padanya terdapat pujian kepada Allah disertai kecintaan kepadaNya.

Dan sebagaimana telah lewat dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya seorang hamba jika mengucapakan :

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

Maka Allah berfirman : hambaku telah memujiku”.

Al Hamdu adalah pujian disertai kecintaan terhadap sesuatu yang dipuji, maka jika pujian dengan tanpa disertai kecintaan disebut Al Mad-hu (المدح).

Maka (ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ) maknanya adalah semua jenis pujian diperuntukkan bagi Allah Dzat yang diibadahi dengan haq, Dzat yang mengatur alam semesta baik di daratan maupun lautan, baik alam yang kita dengar dan kita lihat maupun yang tidak kita dengar dan tidak kita lihat.

Kalimat (الحمد) tersusun dari (أل) bersama (حمد), dan (أل) ini dikatakan oleh para ulama bahwasanya ia menunjukkan keumuman jenis, dan maknanya adalah bahwa ucapanmu : (الحمد) maknanya adalah semua jenis-jenis pujian bagi Allah.

Apa saja jenis-jenis al hamd (pujian) yang berhak ditujukan kepada Allah ?

Jenis-jenis al mahamid (sesuatu yang Allah dipuji atasnya) ada lima, jika seorang hamba menghadirkannya atau menghadirkan salah satunya setiap kali ia membaca :

(ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ)

maka niscaya akan terbukakan baginya pintu-pintu berupa kecintaan kepada Allah, pengagungan terhadapNya, bagusnya pujian atasNya, dan niscaya akan terbukakan baginya ilmu-ilmu dan ibadah-ibadah qalbiyyah (hati) yang tidak diketahui melainkan oleh orang yang merasakannya.

📌 Jenis-jenis pujian bagi Allah ada 5.

Sesungguhnya jenis-jenis al-mahamid (sesuatu yang Allah dipuji karenanya) ada 5 macam :

Yang pertama : Allah dipuji sebagai dzat yang Maha Esa dalam rububiyyahNya, maka engkau memuji Allah dengan sifat ini yaitu Allah Rabb semesta alam yang mengatur semua alam ini, Allah berfirman :

 ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ جَاعِلِ ٱلْمَلَٰٓئِكَةِ رُسُلًا

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan)”.

Yang kedua : Allah dipuji sebagai dzat yang berhak untuk diibadahi, maka Allahlah sesembahan yang haq dan selainNya dari sesembahan-sesembahan maka mereka diibadahi dengan kezhaliman.

Maka Dialah yang berhak diibadahi oleh hamba-hambaNya dengan mereka merendahkan diri kepadaNya, mencintaiNya, berharap dan takut kepadaNya, berhusnuzhan kepadaNya, bertawakkal kepadaNya, meminta pertolongan dan meminta perlindungan kepadaNya, beristighatsah kepadaNya, menyembelih (hewan kurban) dan menunaikan shalat kepadaNya, semua jenis ibadah-ibadah tersebut hanya untukNya semata, maka engkau memuji Allah sebagai dzat yang berhak diibadahi oleh semua hamba-hambaNya dengan macam-macam ibadah tersebut.

Yang ketiga : Allah dipuji sebagai dzat yang memiliki nama-nama husna (yang mencapai puncak dalam kebagusan dan keindahan) dan sifat-sifat yang tinggi lagi sempurna.

Yang keempat : Allah dipuji karena Dialah yang menurunkan Al Quran, Allah berfirman :

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ ٱلْكِتَٰبَ وَلَمْ يَجْعَل لَّهُۥ عِوَجَا ۜ

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya”.

Dan seseorang memuji Allah dengan sebab diturunkannya Al Quran untuk memberikan petunjuk kepada manusia dengan perintah-perintah dan larangan-larangan yang dengannya menjadi baik keadaan umat manusia.

Yang kelima : Allah dipuji dengan apa yang Dia taqdirkan atas hamba-hambaNya, dan masuk di dalamnya nikmat-nikmat, dan inilah yang dipahami kebanyakan dari manusia ketika seseorang mengucapkan : (الحمد لله) maka ia memahami makna pujian kepada Allah atas nikmatNya.

📌 Makna Ar Rabb secara bahasa arab.

Ar Rabb (الرب) secara bahasa adalah dzat yang mengatur pada kerajaanNya, dan pemimpin yang ditaati dalam perintahnya, dan rububiyyah Allah terhadap alam semesta ini sangatlah nampak, hal itu dikarenakan Allahlah yang mengatur alam ini dan Dialah yang dilaksanakan perintahnya, tidak ada yang bisa menolak keputusanNya.

Maka dengan penjelasan ini kita mengetahui kesalahan ahlul bida’ dari kalangan Asya’irah dan semisal mereka yang menafsirkan uluhiyyah dengan makna rububiyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh ahlul kalam : sesungguhnya Al Ilaah (الإله) adalah Dzat yang mampu untuk menciptakan dan Allah (الله) merupakan nama bagi dzat yang mampu untuk menciptakan.

Kemampuan untuk menciptakan termasuk makna-makna rububiyyah, bukan termasuk makna-makna uluhiyyah baik secara bahasa arab maupun secara urf yang khusus dikenal dalam bangsa arab.

Demikian pula As Sanusi dalam aqidahnya yang dikenal dengan “Ummul Barahin” menafsirkan al ilaah (الإله) dengan makna dzat yang tidak butuh kepada selainNya dan butuh kepadaNya segala sesuatu selainNya, dan ia menafsirkan Laa Ilaaha illallah bahwasanya maknanya (لا إله إلا الله) adalah tidak ada dzat yang tidak membutuhkan selainNya dan tidak ada dzat yang segala sesuatu selainNya butuh kepadaNya kecuali Allah.

Maka ayat ini terdapat bantahan bagi mereka dimana Allah berfirman :

(لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين)

“(Segala puji) hanya milik Allah yang merupakan Rabb semesta alam”.

Perhatikan disini bahwasanya Allah membedakan antara rububiyyah dan uluhiyyah dimana Allah menyifati dzat yang diibadahi dengan haq dengan sifat sebagai Rabb semesta alam, dan dalam hal ini terdapat dalil terbesar bahwa rububiyyah berbeda dengan uluhiyyah secara makna, ini secara bahasa arab.

Dan penafsiran uluhiyyah dengan makna rububiyyah memiliki konsekuensi yang batil yaitu bahwa kaum musyrikin yang berbuat kesyirikan dalam ibadah tidaklah dinyatakan kafir dikarenakan mereka tidak mengingkari rububiyyah Allah, sebab mereka mengakui bahwa Allahlah yang mampu untuk menciptakan dan Dialah dzat yang tidak membutuhkan selainNya, lantas bagaimana bisa mereka dihukumi sebagai orang-orang kafir ?!

Dan penafsiran al uluhiyyah dengan makna ibadah membatalkan prinsip mereka dari asasnya, oleh karena inilah dalam ayat ini terdapat dalil yang nampak atas perbedaan antara uluhiyyah dan rububiyyah.

📌 Makna (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ).

Maka (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) keduanya merupakan dua nama dari nama-nama Allah yang husna, dan dua kalimat ini dari sisi ilmu i’rab merupakan dua na’at (sifat) bagi lafzhul jalalah (الله).

Maka (رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين) adalah na’at yang pertama, (الرَّحْمَنِ) adalah na’at yang kedua, (الرَّحِيمِ) adalah na’at yang ketiga, (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ) adalah na’at yang keempat.

Maka (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) merupakan dua nama dari nama-nama Allah yang husna yang mengandung sifat rahmat bagi Allah, dan (الرَّحْمَنِ) adalah dzat yang bersifat dengan sifat rahmat yang luas yang mencakup dunia dan akhirat, sedangkan (الرَّحِيمِ) adalah dzat yang bersifat dengan rahmat yang khusus berkaitan dengan akhirat, oleh karena inilah sebagian salaf berkata : sesungguhnya (الرَّحْمَنِ) adalah Rahman dunia dan akhirat dan (الرَّحِيمِ) adalah Rahim akhirat.

Oleh karena inilah kita katakan : sesungguhnya rahmat Allah mencakup kaum kuffar di dunia, maka mereka masuk dalam cakupan rahmat dalam firmanNya : (الرَّحْمَنِ), maka orang kafir dirahmati di dunia ini dengan beragam jenis rahmat, Allah berfirman :

وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُۥ قَلِيلًا

“Barangsiapa yang kafir dari mereka akan aku beri rezeki di dunia dan akan aku beri kesenangan sementara”. (Al Baqarah : 126).

Orang yang kafir bersenang-senang di dunia dengan beragam harta dan hidup dengan kehidupan yang menyenangkan lagi baik dalam keadaan ia kafir dan berbuat kesyirikan kepada Allah wal iyadzu billah namun rahmat Allah mencakup segala sesuatu di dunia.

Adapun di akhirat maka rahmat Allah khusus bagi kaum mukminin, Allah berfirman :

وَكَانَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا.

Allah Maha Merahmati orang-orang beriman, memberi petunjuk, memperbaiki, dan menjaga mereka. (Al Ahzab : 43).

📌 Makna (مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ).

Allah Ta’ala berfirman :

مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ.

“(Allah) Yang menguasai di Hari Pembalasan”.

ini merupakan na’at (sifat) setelah na’at-na’at sebelumnya, maka disini Allah menamakan diriNya dengan lima nama :

Yang pertama : الله dalam firmanNya : (ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين).
Yang kedua : رب atau رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين.
Yang ketiga : الرحمن.
Yang keempat : الرحيم.
Yang kelima : مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ.

Dan jika engkau memperhatikan 5 nama ini niscaya engkau akan mendapatinya bercabang darinya semua nama-nama Allah dari sisi makna.

Dan Para ulama mengatakan : Sesungguhnya Allah memulai surat ini dengan sesuatu yang mewariskan pada seorang hamba mahabbah (rasa kecintaan) kepada Allah yaitu menyebutkan rububiyyah Allah terhadap alam semesta, dan menyebutkan sesuatu yang bisa menumbuhkan raja’ (rasa mengharap) dalam hati dengan firmanNya :

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Allah memiliki rahmat umum yang mencakup seluruh alam dan memiliki rahmat khusus terhadap orang-orang yang beriman”.

Kemudian Allah menyebutkan sesuatu yang bisa menumbuhkan khauf (rasa takut) dalam hati yakni dalam firmanNya :

مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ.

“(Allah) Yang menguasai di Hari Pembalasan”.

Allah disini berfirman :

مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ

Dan juga bisa dibaca dengan bacaan :

مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Dan مَالِكِ termasuk nama-nama Allah yang husna, demikian pula مَلِكِ juga termasuk nama-nama Allah, dan disana ada perbedaan antara keduanya yaitu :

Maka مَالِكِ (pemilik sesuatu) diambil dari kata المِلْك yang bermakna memiliki sesuatu.

Adapun مَلِكِ (raja/penguasa) diambil dari kata المُلك yang bermakna menguasai dan mengatur sesuatu.

Dan Allah disifati dengan dua sifat tersebut dan bernama dengan dua nama tersebut.

📌 Tafsir (إِيَّاكَ نَعْبُدُ).

Allah berfirman :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ.

“Kami mengkhususkan ibadah hanya untuk-Mu”.

Maka di awal-awal surat ini Allah memuji diriNya dengan beragam pujian kemudian Allah berfirman :(إِيَّاكَ نَعْبُدُ).

Kenapa (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) datang setelah ayat-ayat sebelumnya ?

Maka jawabannya adalah : apa yang dikatakan oleh para ulama : dikarenakan ibadah memiliki tiga rukun yang dengan terkumpulnya tiga rukun tersebut ibadah itu ada secara syariat yaitu : mahabbah (kecintaan), khauf (rasa takut) dan raja’ (rasa harap).

Maka ibadah bisa tegak jika hati seorang hamba itu mencintai, mengharapkan dan takut kepada Allah, engkau lihat misalnya orang yang melakukan shalat jika ia melakukannya maka ia melakukannya dalam keadaan memperhatikan kecintaannya kepada Rabbnya, dan memperhatikan harapannya pada Rabbnya agar Allah menerima shalatnya dan membalasnya, serta memperhatikan rasa takutnya kepada Allah dari hukumanNya di hari kiamat jika ja meninggalkan shalat atau menyia-nyiakannya.

Maka ibadah tegak di atas tiga rukun ini : pondasi al hubb, pondasi raja’, dan pondasi khauf.

Maka jika tidak didapati salah satu diantaranya maka ibadah tidak ada secara syariat walaupun ada secara nyata.

Disini kita mengingatkan : tatkala Allah berfirman :

(ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ).

“Segala puji milik Allah Rabb semesta alam”.

kita sebutkan bahwa ayat ini membuka pintu mahabbah, dan tatkala Allah berfirman :

(الرَّحْمَنِ الرَّحِيم).

“Allah memiliki rahmat umum yang mencakup seluruh alam dan memiliki rahmat khusus terhadap orang-orang yang beriman”.

maka ini membuka pintu raja’, dan tatkala Allah berfirman :

(مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ).

“(Allah) yang menguasai di Hari Pembalasan”.

maka ayat ini membuka pintu khauf.

Maka seorang hamba mengucapkan : (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) jika ia mentadabburinya dalam keadaan terkumpul dalam hatinya berupa mahabbah, khauf dan raja’.

Maka diantara rahmat Allah bagi hambaNya adalah Allah membimbingnya untuk mengucapkan :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ.

“Kami mengkhususkan ibadah hanya untuk-Mu”.

dalam keadaan ia mengajak bicara Rabbnya setelah menyebutkan ayat-ayat yang menumbuhkan dalam hatinya mahabbah, raja’ dan khauf supaya bacaannya tersebut datang sesuai dengan syariat.

📌 Faedah didahulukannya (إِيَّاك) atas (نَعْبُد).

Para ulama berkata : (إِيَّاك) merupakan maf’ul bih yang didahulukan atas fi’ilnya yaitu (نَعْبُد), dan ia merupakan dhamir munfashil yang didahulukan, dan pada asalnya maf’ul itu diakhirkan dari fi’il, dan disini didahulukan atas fi’il, dan uslub ini yaitu didahulukannya maf’ul atas fi’il mengandung faedah-faedah diantaranya adalah al hashr dan al qashr (pembatasan).

Dan ini dibahas dalam ilmu ma’ani, demikian pula dalam ilmu ushul fiqih dalam pembahasan mafhumul mukhalafah.

Allah Ta’ala berfirman :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ.

Maknanya adalah kita membatasi ibadah kami kepadaMu.

Dan sebagian ulama berkata : uslub ini memberikan faedah takhshis (pengkhususan) yakni kami jadikan ibadah kami khusus bagiMu semata.

Maka firman Allah : (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) mengandung tauhid ibadah sebagaimana yang nampak.

📌 Makna Ibadah secara bahasa arab dan secara syariat.

Ibadah secara bahasa bermakna tunduk dan merendahkan diri atau merendahkan diri saja.

Dan ibadah secara syariat adalah puncak cinta disertai puncak kerendahan, sebagaimana definisi ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam An Nuniyyah.

Dan Syaikhul Islam rahimahullah mendefinisikan ibadah dengan ucapannya : ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai oleh Allah berupa ucapan dan perbuatan yang nampak maupun secara batin.

Adapun ulama ushul fiqih mereka mendefinisikan ibadah adalah sesuatu yang diperintahkan secara syariat dengan tanpa diharuskan secara urf atau akal.

Dan semua definisi ini benar.

📌 Tafsir (وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ).

Allah Ta’ala berfirman :

وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ.

“..dan kami hanya memohon pertolongan kepada Engkau saja dalam semua urusan kami”.

Ayat ini mengandung pengesaan Allah dalam isti’anah (meminta pertolongan).

Para ulama berkata : isti’anah diakhirkan padahal mengandung makna rububiyyah dikarenakan ada tujuan yang agung yaitu bahwa seorang hamba yang bertauhid yang mengucapkan : (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) tidak mungkin baginya mentauhidkan Allah kecuali dalam keadaan ia meminta pertolongan kepada Allah semata dalam bertauhid, dan kalau tidak maka para syaithan akan menguasai manusia.

Dan disini seorang hamba yang bertauhid menghadirkan rasa butuhnya yang besar kepada Rabbnya agar Allah mengokohkannya di atas tauhidnya; dikarenakan tidak mungkin ia kokoh dalam mentauhidkan Allah kecuali dengan pertolongan dari Allah, maka hilanglah segala bentuk berbangga terhadap dirinya sendiri bersamaan dengan ucapan seorang hamba dalam shalatnya : (وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ), dan hilanglah sikap terlalu percaya kepada dirinya sendiri, dan seorang hamba merasa senantiasa butuh kepada Allah pada setiap waktu.

📌 Tafsir (ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ).

Allah Ta’ala berfirman setelahnya :

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ.

“Tunjukilah dan bimbinglah kami serta berilah Taufik bagi kami menuju jalan yang lurus”.

Maka diantara rahmat Allah bagi hambaNya adalah Allah menurunkan ayat ini agar kita berdoa dengannya, dan hidayah disini diminta kepada Allah.

Hidayah dalam nash-nash Al Quran ada 4 macam :

1- Hidayah ghaziriyyah (naluriah) dengan makna Allah memberikan petunjuk makhlukNya pada kebaikan urusan dunia mereka, Allah Ta’ala berfirman :

الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى.

“(Rabb) yang telah memberikan kepada setiap makhluk bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS Thaahaa: 50).

2- Hidayah dalalah wal irsyad yakni memberikan petunjuk dan bimbingan kepada kebaikan urusan agama seseorang, sebagaimana dalam firman Allah kepada NabiNya shallallahu alahi wasallam :

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ.

“Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah) benar-benar memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS asy-Syuuraa: 52).

Hidayah jenis ini dimiliki oleh para Rasul, para ulama dan para da’i.

3- Hidayah taufiq wal ilham, hidayah ini merupakan hasil dari hidayah sebelumnya, sebagaimana dalam firman Allah :

إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ.

“Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah) tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS al-Qashash: 56).

Yakni engkau tidak bisa memberikan taufik kepada orang yang engkau cintai namun Allahlah yang memberikan taufik kepada hambaNya yang Allah kehendaki.

4- Hidayah menuju jalan surga dan hidayah menuju jalan neraka.

Maka kaum mukminin diberikan petunjuk menuju jalan surga sebagaimana firman Allah :

وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ فَلَن يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ
.سَيَهْدِيهِمْ وَيُصْلِحُ بَالَهُمْ.

“Dan orang-orang yang gugur di jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Allah akan memberikan mereka petunjuk (ke jalan surga) dan memperbaiki keadaan mereka”. (Muhammad : 4-5).

Dan Allah berfirman :

 فَاهْدُوهُمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْجَحِيمِ.

“…maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka”.(As shaaffaat : 23).

wal iyadzu billah !.

Maka ucapan seseorang : (ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ) mencakup tiga jenis hidayah : yang kedua, yang ketiga dan yang keempat.

📌 Tafsir (ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيم).

Yang dimaksud (ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيم) disini adalah shirath di dunia dan shirath di akhirat, adapun shirath di akhirat memiliki sifat yaitu jembatan yang terbentang di atas neraka jahannam, lebih tajam daripada pedang, lebih tipis daripada rambut, di atas sisi-sisinya terdapat kawat berduri dan semisal itu dari sifat-sifat shirath yang datang dalam sunnah.

Adapun shirath di dunia maka ada perbedaan pendapat antara ahli tafsir dari kalangan salaf tentang maknanya :

Maka sebagian mereka berkata : ash shirathul mustaqim adalah Al Quran.

Dan yang lainnya berkata : ash shirathul mustaqim adalah islam.

Dan yang lainnya berkata : ash shirathul mustaqim adalah sunnah.

Dan yang lainnya berkata : ash shirathul mustaqim adalah mengikuti Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Para ulama seperti Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Syaikhul Islam berkata : semua pendapat-pendapat ini tujuannya sama, maka seorang hamba meminta kepada Rabbnya untuk menunjukkannya kepada ash shirathul mustaqim di dunia yakni agar memberinya petunjuk kepada islam, kepada Al Quran dan kepada sikap mengikuti Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Dan disini ada pertanyaan yang dikenal di sisi ahli tafsir yaitu bahwasanya seorang hamba yang melakukan shalat ia telah diberikan hidayah kepada islam dan kepada Al Quran dan As Sunnah lantas bagaimana bisa ia meminta kepada Allah dengan permintaan ini :

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ.

“Tunjukilah dan bimbinglah kami serta berilah Taufik bagi kami menuju jalan yang lurus”.

Maka bagaimana ia masih meminta dengan permohonan ini ?

Para ulama menjawab : sesungguhnya permohonan ini merupakan permohonan untuk istiqamah dan teguh di atas shirath; dikarenakan orang yang melakukan shalat maka ia telah merealisasikan keislamannya sehingga ia meminta keteguhan di atasnya; demikianlah yang dikemukakan oleh kebanyakan para ulama.

Dan jawaban ini perlu ditinjau ulang.

Dan pendapat yang benar adalah pendapat yang kedua bahwa ash shirathul mustaqim walaupun bermakna islam, atau Al Quran atau As Sunnah atau mengikuti Nabi shallallahu alaihi wasallan maka ia memiliki rincian-rincian, sehingga islam bukan satu perkara saja, namun ia dibangun di atas 5 rukun dan ia memiliki cabang-cabang keislaman, demikian pula iman dibangun di atas 6 rukun, dan ia memiliki cabang-cabang keimanan, demikian pula ihsan memiliki satu rukun dan rukun ini memiliki cabang-cabang.

Maka ketika seorang hamba memohon maka ia memohon agar Allah memberinya taufiq kepada rincian-rincian ini semuanya.

📌 Tafsir (صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ).

Shirath terkadang disandarkan kepada Allah; sebagaimana dalam firmanNya :

إِنَّ رَبِّى عَلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيم.

“Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus”.

Dan terkadang disandarkan kepada selain Allah sebagaimana Allah berfirman disini :

صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ.

“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”,

maka bagaimana cara mengkompromikannya ?

Maka kita jawab : bahwasanya shirath disandarkan kepada Allah karena Allah yang meletakkannya dan mensyariatkannya kepada hamba-hambaNya, dan shirath disandarkan kepada orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah dikarenakan merekalah yang menempuh shirath tersebut, sehingga tidak ada pertentangan antara kedua ayat tersebut.

Dan Allah menjelaskan dalam surat An Nisaa’ orang-orang yang Allah beri nikmat kepada mereka secara khusus, Allah berfirman :

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا.

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para Nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid di jalan Allah, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (di surga)”.

Maka jika seorang hamba melihat para Nabi maka inilah jalan mereka, dan jika ia melihat para syuhada’ di jalan Allah yang berperang agar kalimat Allah berada di atas maka inilah jalan mereka, atau ia melihat para shiddiqin yang mereka jujur dan datang membawa kebenaran serta mengimaninya, mereka jujur dalam ucapan dan keyakinan mereka serta amalan mereka, maka jika engkau tidak melihat mereka maka engkau akan mendapati orang-orang shalih yang ada di setiap zaman yakni mereka yang baik hatinya disebabkan benarnya keyakinan-keyakinan mereka, baik ucapannya dengan beragam ucapan yang baik dan baik amalannya dengan mengikuti sunnah.

📌 Tafsir (غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ)

Allah Subhanahu berfirman :

غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

“bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat”.

Maka jalan orang-orang yang Allah berikan nikmat atas mereka bukanlah jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pulan jalan orang-orang yang sesat; sebagaimana ini merupakan pendapat yang rajih menurut sekelompok ahli tafsir yaitu bahwasanya kalimat (غير) merupakan na’at bagi kalimat sebelumnya bukan istitsna’.

Firman Allah : (غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ) mereka adalah kaum Yahudi, dan (ٱلضَّآلِّينَ) mereka adalah kaum Nashara sebagaimana telah shahih hadits dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentangnya yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan selainnya, bahkan dinukilkan kesepakatan ahli tafsir bahwasanya orang-orang yang dimurkai adalah kaum Yahudi dan orang-orang yang sesat adalah kaum Nashara.

Dan sebab kaum Yahudi dimurkai adalah dikarenakan mereka mengetahui dengan ilmu yang jelas dan telah ditegakkan kepada mereka hujjah-hujjah yang beragam namun mereka menyelisihinya di atas ilmu dan keyakinan, Allah Ta’ala berfirman :

ٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ يَعْرِفُونَهُۥ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَآءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ ٱلْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ.

“Orang-orang yang kami berikan kepada mereka Taurat dan Injil dari kalangan para ulama Yahudi dan para ulama Nasrani mereka mengenal Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai utusan Allah dengan sifat-sifat yang tertuang dalam kitab-kitab suci mereka layaknya mereka mengenal anak-anak mereka sendiri, dan sesungguhnya sebagian dari mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran sedangkan mereka itu tahu kebenarannya dan kepastian sifat-sifatnya”.

Dan Allah menyifati kaum Nashara dengan firmannya : (ٱلضَّآلِّينَ) dikarenakan mereka beribadah di atas kejahilan, sehingga mereka tersesat, Allah Ta’ala berfirman :

وَرَهْبَانِيَّةً ٱبْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَٰهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ٱبْتِغَآءَ رِضْوَٰنِ ٱللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ۖ

“…lalu mereka membuat kerahiban dengan bersikap ghuluw dalam beribadah yang tidak Kami wajibkan kepada mereka, namun merekalah yang mengada-adakannya dengan niat mengharap keridhaan Allah, namun mereka tidak menjalankannya dengan benar”.

📚Diringkas dari Kitab “Al Fatihah Ummul Quran wa Sirrus Shalah, Tafsir wa Taammul”.

Sumber : http://telegram.me/dinulqoyyim
Diarsipkan di Artikel Islam
Gulir ke Atas