Tidak bisa dipungkiri bahwa memberi teladan merupakan metode pendidikan
yang terbaik. Melalui teladan sebuah kebaikan tidak sekedar menjadi
sesuatu yang normatif, tetapi jadi aplikatif: bisa diterapkan, bahkan
ditiru. Karenanya, jika seseorang memberi teladan, sesungguhnya ia
telah memberikan inspirasi bagi orang lain untuk melakukan hal yang
sama, bahkan bisa melebihi. Karenanya ia akan mendapatkan dua balasan
berupa pahala atau dosa dari perbuatannya dan perbuatan yang
mengikutinya.
Dan karena begitu pentingnya peranan teladan -di dalam sebuah
masyarakat, misalnya- sering kali ketidakadaannya dijadikan alasan
sebab tidak berjalan atau dilanggarnya sebuah aturan. Akhirnya, teladan
yang semula hanya sebagai penyempurna berubah menjadi unsur utama.
Sampai-sampai banyak orang mengira bahwa kebaikan akan banyak
dikerjakan orang cukup hanya dengan adanya teladan. Anggapan ini juga
berlaku pada lingkungan yang lebih kecil: keluarga. Buktinya, setiap
ada anak nakal, “kambing hitamnya” pasti tak adanya teladan di dalam keluarga.
Lantas bagaimana dengan anak-anak nakal yang datang dari keluarga
“baik-baik”; yang bapaknya guru, ustadz, da’i, atau aktifis da’wah;
yang orangtuanya menjadi idola masyarakat. Apa sebab ini bisa terjadi?
Apa yang kurang pada orangtuanya? Orang-orang akan bilang, “Koq, bisa, ya? Kasihan orangtuanya.” Tapi
keheranan itu tidak menyelesaikan persoalan. Dan kalau itu terjadi pada
kita –yang merasa telah memberikan contoh yang baik dan tidak pernah
sekalipun memberi contoh yang buruk kepada anak–, apa sebabnya?
Perhatikanlah empat pertanyaan di bawah ini, mungkin di sana ada
jawabnya.
Pertama: Apakah perintah kita dituruti?
Seorang ayah di dalam keluarga atau guru di dalam kelas ibarat komandan
di dalam sebuah pasukan. Ia ada tidak lain untuk memimpin. Ketika ia
perintahkan berjalan, pasukan pun segera berjalan. Ketika ia katakan
,“Serbu!” menyerbulah pasukan ke arah yang ditujuk tanpa lagi berpikir
panjang; “Tiarap!” saat itu juga tiarap; percaya ada bahaya yang sedang
mengancam meski mereka tidak melihat apa-apa.
Begitu percayanya pasukan kepadanya seperti percayanya Ismail kepada
Ibrahim -alaihimassalaam-
bahwa apa yang dikatakan ayahnya -berupa perintah Allah untuk
menyembelihnya- itu adalah kebenaran yang tak perlu dipertanyakan dan
diragukan. Bahkan ketika sudah berkeluarga pun Ismail masih begitu
percaya kepada ayahnya dan mau menuruti perintahnya: mengganti
palang pintu rumahnya.
Sekarang marilah kita bandingkan dengan anak-anak atau murid-murid
kita. Bersegerakah mereka mengerjakan perintah kita? Kenapa mereka
tetap ribut ketika kita perintahkan untuk diam? Mengapa begitu sulitya
membuat mereka percaya dan yakin bahwa yang kita perintahkan itu benar
demi kebaikan mereka sendiri? Mengapa kita harus berulang-ulang
mengeluarkan perintah hanya untuk melihat mereka berjalan dengan
menyeret-nyeret sendal? Mengapa kalimat perintah yang keluar dari mulut
kita seolah-olah kalimat berita semata di telinga mereka?
Boleh jadi ada orangtua bilang,”Asalkan
kemauannya juga dipenuhi, anak saya sebenarnya penurut, lho.”
Yang lain bilang,”Anak saya mau
berangkat ke sekolah kalau saya kasih uang jajan.” Yang lain
lagi bilang,”Anak saya mau, koq,
disuruh ngantar ini-itu ke sana kemari asal boleh pakai motor -
Orangtua macam ini mengira anaknya mau menuruti perintahnya. Padahal
sebaliknya, dia lah yang menurut kepada anak. Untuk “kekalahan” ini
mereka pun selalu punya alasan,”padahal belum punya SIM-.” Habis, mau gimana lagi. Daripada enggak
sekolah.” Yang lain bilang,”Daripada
mencuri-curi di belakang kita, mendingan kita bolehin.”
Orangtua macam ini tidak sadar telah memasang perangkap, menyerahkan
diri untuk disandera dan diperbudak oleh anaknya. Inilah yang telah
digambarkan oleh Rasulullah -shallallahu
alaihi wa sallam- “para ibu
melahirkan majikan-majikannya”. Terbukti memang, betapa sering
kita saksikan fenomena seperti di atas; orangtua baik-baik bukan hanya
tak dituruti oleh anaknya, bahkan diperbudak. Keteladanannya
seolah-olah tidak berpengaruh sedikitpun bagi anaknya.
Ya, teladan saja ternyata belum cukup. Karena teladan hanya efektif
bagi orang-orang yang memiliki kepekaan. Sedangkan kepekaan itu
memerlukan –juga- merupakan hasil latihan dan pembiasaan. Anak-anak
memang butuh teladan, tetapi jangan lupa; mereka juga butuh dilatih dan
dibiasakan menuruti perintah. Komandan memang harus bisa menjadi
teladan, tetapi lebih dari itu, ia harus bisa membuat anak buah
menuruti perintahnya.
Kedua: Apakah marah kita ditakuti?
Yang saya maksud “marah kita ditakuti” adalah bahwa mereka (anak-anak
kita) takut melakukan sesuatu yang bisa membuat kita marah, sebagaimana
takutnya kita akan murka Allah; bukan baru takut ketika kita sudah
terlanjur marah, atau ketika Allah sudah terlanjur murka. Sepatutnya
lah anak takut membuat orangtuanya marah, atau paling tidak ia merasa
takut ketika melihat orangtuanya sudah marah. Yang tidak sepatutnya
adalah ketika bola mata kita sudah hampir copot, urat leher hampir
pecah, suara sudah habis karena berteriak-teriak, dan akhirnya darah
tinggi kumat; anak-anak tetap santai seolah-olah tidak ada yang salah.
Lebih disayangkan lagi adalah kebanyakan anak mengira bahwa marah itu
mata melotot, bentakan, atau pukulan, hanya itu. Ketika ibu tak lagi
bisa marah kecuali menangis, anak tidak mengerti, “Kenapa ibu meneteskan air mata?”
Mereka tidak mengerti karena tidak pernah dididik dan dibiasakan sejak
dini memahami perasaan orangtuanya. Mungkin bapaknya lupa atau belum
sempat mengingatkan, “Wahai, anakku.
Cukuplah seorang anak itu dianggap durhaka manakala perbuatannya
menyebabkan orangtuanya meneteskan airmata.” Boleh jadi mereka
memang belum pernah mendengar:
بكاء الوالدين من العقوق والكبائر –
(حديث موقف من عبدالله بن عمرو رواه البخاري في الادب المفرد)
(Airmata kedua orangtua itu adalah
tanda kedurhakaan anak dan dosa besar.)
Ini adalah musibah. Bagaimana tidak? Marah dan tangisnya orangtua saja
tidak membuat anak takut atau tersentuh, apalagi sekedar “sindiran”
lewat teladan.
Namun musibah yang lebih besar lagi adalah ketika terjadi hal yang
tidak baik di dalam rumah tangga atau anak-anak melakukan perbuatan
jelek, jangankan marah, sekedar menegur pun orangtua tidak mampu,
bahkan tidak mau; merasa cukup hanya dengan memberikan contoh, kemudian
lepas tanggung jawab. “Yang penting
kita sudah kasih contoh. Mau mengerjakan atau tidak, tanggung jawab
sendiri. Bukan lagi kewajiban saya.” kata sebagian mereka
beralasan. Ini musibah di atas musibah!
Tidak takutkah si Ayah dicap Ad-Dayuts (sebagaimana
yang telah Rasulullah -shallallahu
alaihi wa sallam- ingatkan); kepala keluarga yang membiarkan
terjadinya kerusakan di dalam rumah tangga atau keluarganya; yang tidak
memiliki rasa cemburu terhadap mahramnya.
روي أحمد عن ابن عمر رضي الله عنخما
ان رسول الله صلي الله عليه و سلم قال: ثلاثة قد حرم الله تبارك و تعالي
الجنة: مدمن الخمر و العاق و الديوث: الذي يقر في اهله الحبث (وفي روية :
الذي يرضي الحبث في اهله : الذي لا يغر علي محارمه)
(Diriwayatkan Imam Ahmad dari Ibnu Umar -radhiallahu anhumaa- bahwasanya
Rasulullah -shallallahu alaihi wa
sallam- bersabda: ”Tiga
golongan yang Allah haramkan atas mereka Surga: pecandu khamer, anak
yang durhaka, dan Ad-Dayuts, yaitu yang membiarkan saja berlakunya
keburukan pada keluarganya.”) (Di dalam riwayat lain: yaitu yang ridho adanya kerusakan di dalam
keluarganya: yang tidak memiliki rasa cemburu terhadap mahram-mahramnya.)
Dari riwayat-riwayat di atas tampak sekali buruknya diam atau tidak
marah terhadap kemungkaran yang terjadi di dalam keluarga atau rumah
tangga, apalagi telah ada teladan di sana. Padahal teladan dan
marah itu ibarat raja dengan pengawalnya. Tanpa pengawal, kewibawaan
dan kekuasaan raja menjadi tidak ada apa-apanya. Orangtua memang wajib
memberi teladan. Tetapi apalah gunanya teladan kalau anak berani
mengabaikannya dan tidak takut sama sekali akan marah orangtuanya.
Ketiga: Apakah bicara kita dipahami?
Ketika anak memasuki usia tamyiz, terlebih lagi ketika menjelang
baligh, pola komunikasi antara orangtua dan anak tak bisa lagi sebatas
perintah dan larangan; sedikit demi sedikit berubah ke bentuk dialog.
Mulai banyak perkara yang perlu dijelaskan sejalan dengan bertambahnya
rasa ingin tahu mereka. Terkadang ada hal yang perlu dibicarakan lebih
dahulu sebelum diputuskan bersama. Dan ini memerlukan ketrampilan
komunikasi verbal yang dengannya seorang ayah bisa menjelaskan alasan
atau motivasi dari tindakan yang ia lakukan; menyampaikan pesan secara
lebih menyentuh dan menggugah. Tanpanya, bukan saja pesan sering tak
sampai, bahkan bisa disalahpahami.
Ali bin Abi Thalib -radhiallahu anhu-
pernah berucap –yang dicatat dengan tinta emas oleh para ulama dari
zaman ke zaman–:
حدثواالناس بما يعرفون .
أتحبون أن يكذب الله و رسوله ؟
(”Berbicaralah kepada manusia dengan
bahasa yang mereka pahami. Bukan kah kalian tidak menghendaki mereka
mendustakan Allah dan Rasul-Nya.”)(Dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Kitab Al
Ilmu)
Ada dua sebab kenapa bicara kita tidak dipahami; pertama, kita memang
tidak bisa bicara dan tidak pernah berusaha untuk belajar bicara;
kedua, anak tidak mampu memahami apa yang kita bicarakan karena tidak
terbiasa atau terlatih sejak kecil mendengar kita -orangtuanya-
berbicara kepada mereka.
Karena persoalan inilah berapa banyak kita dapati keluarga yang
“bisu” ; anak lebih paham bacaan, tontonan atau bahasa temannya
ketimbang bahasa bapak-ibunya. Seorang ayah memang harus jadi teladan
bagi anaknya, sebagaimana seorang komandan bagi anak buahnya. Tetapi
“mission” tidak akan berhasil hanya dengan teladan seorang
komandan. Ia dapat berjalan dengan baik dan berhasil hanya
apabila sang komandan mampu lebih dahulu secara verbal menjabarkan
dengan jelas target dan strateginya, mengatur manuver taktis seraya
terus menjalin komunikasi -juga secara verbal- dengan anak buahnya di
lapangan untuk memastikan apakah semua berjalan dengan baik. Demikian
pula seharusnya keseharian seorang ayah di tengah keluarganya; tidak
cukup hanya dengan memberi teladan, tetapi harus terus menjalin
komunikasi dengan anak-anaknya lewat bicara.
Keempat: Apakah nasihat kita didengar?
Tidak satupun manusia yang menjalani hidupnya tanpa pernah merasakan
sedih, bingung atau melakukan kesalahan, tidak juga anak-anak atau
murid-murid kita. Di dalam tiga keadaan itulah mereka membutuhkan
nasihat yang dapat meringankan kesedihannya, menghalau kebingungannya,
atau menegur kesalahannya. Karenanya, saling menasihati merupakan
perbuatan yang disyari’atkan di dalam Islam dan diperintahkan oleh
Allah disertai peringatan: meruginya manusia yang tidak mau saling
menasihati. Bahkan Islam itu sendiri adalah nasihat,
sampai-sampai Jarir bi Abdillah -radhiallahu
anhu- berbai’at di hadapan Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- untuk
senantiasa memberi nasihat kepada setiap muslim.
Perhatikanlah kisah Luqman Al Hakim. Ia adalah seorang hamba Allah yang
sholeh yang telah Allah anugerahi Al Hikmah. Berkata As-Si’diy -rahimahullah- di dalam tafsirnya:
الحكمة هي مستلزمة للعلم بل للعمل
ولهذا فسرت الحكمة بالعلم النافع و العمل الصالح
(Al Hikmah itu senantiasa terikat
kepada ilmu, bahkan amal. Karenanya kata Al Hikmah itu senantiasa
ditafsirkan atau diartikan dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang
baik.)
Sebagai seorang hamba yang sholeh tentu Luqman adalah pribadi yang
pantas diteladani. Namun hakikat kesholehannya bukan dari sisi
keteladanan amalnya semata, tetapi justru ketika ia senantiasa memberi
nasihat sehingga Allah abadikan nasihatnya di dalam Al Qur’an.
Berkaca dari kisah Luqman Al Hakim orangtua atau guru memanglah
harus lebih dahulu menjadi teladan bagi anak atau muridnya.
Tetapi ia tidak boleh berhenti hanya sampai di situ. Ia tetap
berkewajiban menasihati mereka. Sebab, telah terbukti dalam banyak
perkara bahwa teladan orangtua saja tidak cukup bagi anak untuk
mengatasi kesedihannya tatkala tertimpa musibah, untuk menghilangkan
kegalauan tatkala hatinya sedang ditimpa kebingungan, atau untuk
membuat mereka mau bertobat ketika bersalah.
Perhatikanlah dengan seksama bagaimana Luqman Al Hakim menasihati
anaknya; untuk mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya; berbakti
kepada orangtua dan senatiasa mematuhi mereka di dalam perkara yang
ma’ruf; untuk tidak menyepelekan amalan sekecil apapun; untuk
menegakkan sholat, beramar ma’ruf dan nahi munkar, serta bersabar
menghadapi gangguan atau musibah; untuk tidak membuang muka ketika
berbicara dengan orang lain dan tidak berjalan di muka bumi
dengan sombong; bahkan sampai kepada perintah bersikap sederhana di
dalam berjalan dan merendahkan suara ketika berbicara.
Sekarang mari kita perhatikan; apakah anak-anak kita merasa terhibur,
tercerahkan, dan tergugah dengan nasihat kita? Kepada siapa mereka
lebih suka mencurahkan isi hatinya; kepada kita -orangtuanya- atau
kepada teman sebayanya? Masihkah arahan dan nasihat kita jadi
pertimbangan mereka sebelum memutuskan sesuatu? Adakah tapak kaki kita
di antara jejak langkah mereka? Apakah pernah terlontar dari mulut
mereka yang semisal dengan ucapan kita walau hanya sepatah kata?
Kenyataannya, mereka lebih terhibur dengan buku hariannya, lebih
percaya kepada temannya, dan lebih tergugah oleh novel atau sinetron.
Kenyataannya, mereka lebih senang duduk di depan televisi sambil
mendengar bualan psikolog -yang belum terbukti mampu menerapkan
nasihatnya sendiri-. Kenyataannya, bahkan kita tak lagi bisa mengira
akan ke mana mereka melangkahkan kaki. Kenyataannya, jangankan
mengulang-ulang ucapan kita, ingat sepatah kata pun tidak.
Ya, ketika perintah kita tidak dituruti, marah kita tidak ditakuti,
bicara kita tidak dipahami, dan nasihat kita tidak didengar, jangan
lagi terlalu banyak berharap pada mereka; teladan yang kita perlihatkan
di hadapan mereka pun akan menjadi tak lebih sekedar tontonan.
Paling-paling kita hanya akan mendengar mereka berbasa-basi memuji kita
-agar tidak menjadi lebih merasa “durhaka”- sementara tidak ada
sama sekali perbuatan kita yang mereka teladani.
Penulis: Al-Ustadz Abu Khaulah
Zainal Abidin حفظه الله